Sebuah penelitian memperkirakan kehancuran sejumlah dinasti yang berkuasa di Cina kemungkinan berhubungan dengan kekuataan curah hujan.
Penemuan ini didasarkan dari catatan curah hujan Asia berusia 1.800 tahun yang tertera dalam sebuah stalakmit di sebuah gua di Cina
Stalakmit terbuat dari kalsium karbonat, yang terbentuk dari air yang mengalir dari langit-langit gua.
Para ilmuwan mengatakan periode musim hujan yang tidak kuat – berarti kering -terjadi bersamaan dengan kehancuran dinasti kerajaan Tang, Yuan dan Ming.
Tim gabungan Amerika Serikat dan Cina melaporkan penelitian mereka di jurnal Science.
Analisa kimia sebuah stalakmit berukuran 118 mm dari gua Wangziang, di propinsi Gansu, Cina, membeberkan sejarah lingkaran kuat dan lemah curah hujan – musim saat tanaman di Asia mendapat curah hujan alami.
Para peneliti juga menemukan bahwa, bahwa dalam 50 tahun terakhir gas rumah kaca dan aerosol kini menjadi faktor penentu dalam mempengaruhi musim hujan, bukan lagi kemampuan melakukan variasi secara alami.
Kehancuran dinasti
Variasi kecil berbentuk komposisi oksigen stalakmit menggambarkan variasi curah hujan dekat gua itu.
Proporsi elemen radioaktif uranium dan thorium dalam kandungannya membuat para peneliti bisa mengukur usia lapisan stalakmit hingga rata-rata dua setengah tahun.
Gua Wanxiang, Cina
Catatan curah hujan ditemukan dari stalakmit ini
Dengan membandingkan catatan curah hujan ini dengan catatan sejarah Cina, Pingzhong Zhang dari Universitas Lanzhou Cina, dan timnya, berhasil menemukan bahwa tiga dari lima dinasti yang berkuasa beberapa abad – Tang, Yuan dan Ming – hancur setelah mengalami beberapa dekade musim hujan yang lebih kering.
“Angin musim hujan di pertengahan tahun berasal dari Lautan India dan bergerak ke Cina,” ujar Hai Cheng, dari Universitas Minnesota, Amerika.
“Jika curah hujan di musim panas lebih kuat, angin bertiup jauh hingga ke dalam wilayah Cina.”
Angin yang lembab ini membawa air hujan yang penting untuk tanaman padi.
Namun jika angin musim hujan lemah, hujan hanya berpusat di wilayah Selatan dan Timur, membuat bagian utara dan barat Cina tidak mendapat curah hujan di musim panas.
Para ilmuwan berspekulasi bahwa hal ini bisa menyebabkan gagal panen beras dan kemudian terjadi pemberontakan warga sipil.
“Jika faktor-faktor lain bisa dengan pasti berdampak bagi sejarah budaya Cina, hubungan kami mengindikasikan bahwa cuaca memainkan peran penting,” tulis para peneliti di jurnal Science.
Namun, curah hujan yang lemah bisa juga dihubungkan dengan perubahan yang terjadi di tempat lain.
Para peneliti mengatakan periode musim kering antara 850 dan 940 setelah Masehi tidak hanya terjadi bersamaan dengan kehancuran Dinasti Tang, tetapi juga dengan kejatuhan peradaban suku Maya di Amerika.
Pengaruh manusia
Peningkatan curah hujan yang kemudian terjadi kemungkinan menjadi faktor peningkatan panen padi, penambahan populasi yang dramatis dan stabilitas yang terjadi di awal Dinasti Song, Cina Utara.
Catatan curah hujan juga sesuai dengan timbul tenggelamnya glasier Swiss.
Para ilmuwan mengatakan arsip alami memperlihatkan bahwa perubahan iklim bisa berdampak fatal pada masyarakat setempat – bahkan ketika perubahan itu ringan jika dibandingkan dengan rata-rata perubahan global.
Dalam catatan gua, curah hujan mengikuti trend aktivitas matahari selama beberapa abad, mengindikasikan bahwa matahari memainkan peran penting dalam variasi pada sistem cuaca ini.
Disaat suhu naik, curah hujan bertambah kuat, jika suhu turun, curah hujan pun berkurang.
Akan tetapi, dalam lima puluh tahun terakhir, hubungan ini berubah.
Para peneliti menunjuk penyebabnya adalah pengaruh dari emisi gas rumah kaca dan aerosol sulphat yang dilepaskan oleh perilaku manusia.
Lama2 Dinasti Jakarta Lama2 bs hancur ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar