13 Juni 2009

persaingan capres

Jakarta � Dua capres terkuat, SBY dan Megawati, makin ketat menjaga citra dan menyusun strategi. Merasa jadi rival terberat, kedua saling intai masing-masing taktik politik. Begitu sengitnya persaingan, capres lain terkesan diabaikan. Apa akibatnya?

Pekan-pekan ini, publik disuguhi ragam strategi dua calon presiden yang diprediksikan bakal duel dalam Pilpres 2009 mendatang. Semua mata tertuju pada kedua figur ini. Siapa yang paling bisa mengatur strategi, dialah yang berpeluang menjadi Presiden RI ke VII.

Adu strategi yang mencolok muncul dari kedua calon presiden ini melalui iklan politiknya. Media pencitraan melalui media menjadi jalan pintas para elit, tak terkecuali bagi dua bekas bos dan anak buah ini: Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri.

November lalu, mereka telah mengawali perang iklan politik di media cetak maupun televisi. Kubu Yudhoyono menampilkan iklan dengan seri pemberantasan korupsi, sedangkan kubu Mega menampilkan jualan sembako murah.

Bulan berikutnya, iklan sembako murah milik PDIP seperti ketiban sial atas melorotnya harga minyak mentah dunia. Pemerintahan Yudhoyono menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500, Rp 5.000, dan saat ini menjadi Rp 4.500 per liternya.

Penurunan harga BBM ini jelas cukup ampuh bagi Yudhoyono untuk menjungkirkbalikkan program Mega soal sembako murah. Hingga penurunan harga BBM kali ketiga pertengahan Januari lalu, SBY di atas angin dengan klaim 'pertama dalam sejarah' penurunan harga BBM, meski klaim itu ternyata agak membual juga.

Maka secara simetris, awareness publik terhadap pemerintahan Yudhoyono semakin meningkat. Hasil survei dari lembaga opini publik menunjukkan perkembangan signifikan atas popularitas dan elektabilitas SBY yang berbanding lurus dengan penurunan di pihak Mega.

Hasil Survei LP3ES pada Desember lalu, misalnya, menyebutkan prefensi politik terahdap SBY sebesar 38,1%, Megawati 17,2%. Di periode yang sama, LSI menempatkan SBY 43,0% dan Meagwati 19,0%. Sedangkan pada November, Puskaptis menempatkan SBY sebesar 37,6%, Megawati 35,6%. Reform Institute pada periode yang sama menempatkan SBY 42,2% dan Megawati 16,7%.

Tampak jelas, dari fluktuasi dukungan dua calon tersebut, tampak SBY mengalami peningkatan signifikan. Meski Indonesia tertimpa krisis finansial, bagi publik tidak simetris dengan pilihan politiknya dalam kepemimpinan nasional. SBY masih baik di mata pemilih.

Jelas kondisi ini membuat kubu Moncong Putih terdesak. Dalam beberapa waktu terakhir ini, PDIP mengundang sejumlah tokoh elit politik. Sebutlah umpamanya KH Abdurrahman Wahid, Sultan HB X, Sutiyoso, Akbar Tandjung, Prabowo Subianto dan sejumlah tokoh lainnya. Agendanya, silaturahmi menjelang Rakernas pada pekan depan 26-29 Januari ini.

Namun menurut pengkuan Ketua Bappilu DPP PDIP, Tjahjo Kumolo, berkumpulnya banyak tokoh dalam rakernas mendatang, tidak terlepas dari upaya penggeroyokan pada figur incumbent SBY. "Pokoknya kami akan mengeroyok SBY, sang incumbent," kata Tjahjo.

Tampaknya PDIP mudah lupa atas pengalaman kekalahannya dalam Pilpres 2004 lalu. Koalisi yang berpijak pada elite semata tak jarang keropos karena tak menetes ke akar rumput.

Lain dengan Partai Demokrat. Menurut Anas Urbaningrum, pihaknya bakal melakukan koalisi politik pasca Pilpres 2009. "Tapi bukan melawan koalisi keroyokan seperti PDIP," tegasnya kepada INILAH.COM, Jumat (23/1).

Pijakan koalisi yang akan dibangun, tutur Anas, dalam rangka kebersamaan membangun stabilitas dan efektivitas pemerintahan. Menurut dia, pembentukan koalisi berpijak pada visi akan memudahkan bagi SBY untuk Pilpres 2009.

Adu strategi yang berbentuk iklan politik dan strategi melakukan koalisi untuk mencari kimiawi politik antarkelompok seperti menjadi kata kunci untuk sukses dalam Pilpres 2009 ini. Pertarungan pertama dalam adu iklan politik, SBY menjadi pemenangnya. Pertarungan strategi koalisi, kawin dengan siapa, siapa basis dukungannya, menjadi ujian terakhir bagi dua capres ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar